SELAMAT DATANG DI DUNIA MATEMATIKA

22 Desember 2009

MENGAJAR, PEMBELAJARAN DAN MATEMATIKA

Pearson (1989) mengatakan bahwa tujuan mengajar adalah menyempurnakan pembelajaran. Dengan menggunakan sebuah studi pengajaran matematika, kita akan memahami cara bagaimana pengajaran matematika menyempunakan pembelajaran matematika. Studi seperti itu memberikan pengertian yang mendalam bagaimana pengajaran matematika berkembang atau dapat meningkatkan hasil pembelajaran matematika pada siswa. Tentu saja pengajaran tidak berkembang secara abstrak, tetapi melalui pertumbuhan pengetahuan dan pengalaman guru matematika dalam mengajar. Secara perspektif dan praktis pendidik bekerja dengan guru untuk membantu perkembangan dan memfasilitasi guru dalam pembelajaran matematika. Kegiatan penelitian pada tingkatan ini adalah mengusahakan pembelajaran pada diri sendiri. Kemudian guru, pendidik, dan peneliti mengintegrasian kegiatan penelitian dan praktek studi pembelajaran yang mendasar.
Matematika merupakan suatu bahan kajian yang memiliki obyek abstrak dan dibangun melalui proses penalaran deduktif, yaitu kebenaran suatu konsep diperoleh sebagai akibat logis dari kebenaran sebelumnya sudah diterima, sehingga keterkaitan antar konsep dalam matematika bersifat sangat kuat dan jelas. Matematika berfungsi untuk mengembangkan kemampuan bernalar melalui kegiatan penyelidikan eksplorasi dan eksperimen sebagai alat pemecahaan masalah melalui pola pikir dan model matematika serta sebagai alat komunikasi melalui simbol, tabel, grafik, diagram, dalam menjelaskan gagasan.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi memungkinkan semua pihak dapat memperoleh informasi dengan melimpah, cepat dan mudah dari berbagai sumber dan tempat di dunia. Selain perkembangan yang pesat, perubahan juga terjadi dengan cepat. Karena itu diperlukan kemampuan untuk memperoleh, dan mengelola dan memanfaatkan informasi untuk bertahan pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif. Kemampuan ini membutuhkan pemikiran, antara lain berpikir sistematis, logis, kritis yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika.
Kemajuan suatu bangsa tercermin pada keberlangsungan pendidikan bangsa itu. Bangsa dengan tingkat pendidikan yang memadai diyakini mampu menciptakan kehidupan yang beradap. Artinya peningkatan mutu pendidikan dianggap sebagai suatu kebutuhan bangsa yang ingin maju. Oleh karena itu, pendidikan perlu mendapat perhatian yang besar agar kita dapat mengejar ketertinggalan di bidang Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi yang mutlak kita perlukan untuk mengisi pembangunan.
Guru memegang peran strategis terutama dalam upaya membentuk watak bangsa melalui pengembangan kepribadian dan nilai-nilai yang diinginkan. Dari dimensi tersebut, peran guru sulit digantikan oleh yang lain. Dipandang dari dimensi tehnologi peran guru tetap dominan sekalipun tehnologi yang dapat dimanfaatkan dalam proses pembelajaran berkembang amat cepat. Hal ini disebabkan ada dimensi-dimensi proses pendidikan, atau lebih khusus lagi proses pembelajaran, yang diperankan oleh guru yang tidak dapat digantikan oleh tehnologi.
Peningkatan kualitas pendidikan dasar harus dilaksanakan secara terpadu, sistematis, bertahap dan berkesinambungan. Hal ini dilaksanakan terhadap:
1. Kesiswaan, terutama yang menyangkut aspek terjadinya drop out dan mengulang kelas, pembinaan pertumbuhan fisik siswa dan pembinaan mutu proses dan hasil belajarnya.
2. Ketenangan, baik guru maupun non guru.
3. Kurikulum serta sarana dan prasarana.
4. Penyediaan dana dan pengelolaannya.
5. Organisasi dan majemen sekolah.
6. Proses belajar mengajar.
7. Kerjasama sekolah dan masyarakat melelui komite sekolah.
Seringkali dalam pembelajaran matematika di kelas guru mendominasi kegiatan tersebut. Poros pembelajaran mutlak ada pada guru, sehingga proses belajar mengajar berjalan satu arah. Guru kurang mampu mengakomodasi permasalahan siswa-siswanya. Hal ini karena dengan jumlah jam mengajar yang terbatas, guru dituntut melaksanakan pembelajaran yang selalu menguras tenaga dan pikiran dengan model pembelajaran konvensional.
Dengan model pembelajaran konvensional siswa seakan hanya sebagai obyek pembelajaran. Setiap individu siswa pasti mempunyai tingkat pemahaman materi yang berbeda-beda. Mereka juga memiliki tingkat permasalahan yang berbeda-beda. Artinya dengan model pembelajaran yang mengesampingkan peran siswa akan memberikan dampak kurang baik pada prestasi belajarnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi memungkinkan semua pihak dapat memperoleh informasi dengan melimpah, cepat dan mudah dari berbagai sumber dan tempat di dunia. Selain perkembangan yang pesat, perubahan juga terjadi dengan cepat. Karena itu diperlukan kemampuan untuk memperoleh, dan mengelola dan memanfaatkan informasi untuk bertahan pada keadaan yang selalu berubah, tidak pasti dan kompetitif. Kemampuan ini membutuhkan pemikiran, antara lain berpikir sistematis, logis, kritis yang dapat dikembangkan melalui pembelajaran matematika.

readmore »»  

Indahnya Punya Pemimpin Cerdas Spiritual

Menjadi pemimpin itu tidak mudah. Baik pemimpin negara, daerah, kantor, atau bahkan pemimpin rumah tangga. Ada 4 kecerdasan yang diperlukan, yaitu kecerdasan fisik, intelegensi, mental dan spritual.
Kecerdasan spiritual memberi kita kemampuan membedakan kecerdasan spiritual memberi kita rasa moral, kemampuan menyesuaikan aturan yang kaku, dibarengi dengan pemahaman dan cinta serta kemampuan setara untuk melihat kapan cinta dan pemahaman sampai pada batasannya. Kita menggunakan kecerdasan spiritual untuk bergulat dengan ihwal baik dan jahat, serta untuk membayangkan kemungkinan yang belum terwujud untuk bermimpi, bercita-cita, dan mengangkat diri kita dari kerendahan. Tidak semua orang yang pengetahuan agamanya luas atau tekun beribadah bisa menjadi pemimpin yang berkecerdasan spiritual.
Menurut Joe Loper ciri-ciri orang berkecerdasan spiritual tinggi adalah sebagai berikut:
1. Fleksibel (luwes), baik dalam sikap maupun cara berpikir
2. Kemampuan refleksi tinggi
3. Kesadaran terhadap diri dan lingkungan tinggi
4. Kemampuan berkontemplasi tinggi
5. Berfikir secara holistik (mengaitkan satu dengan lain hal)
6. Berani menghadapi dan memanfaatkan penderitaan (pasrah, ikhlas)
7. Berani melawan arus atau tradisi
8. Memelihara alam semesta.

Sedangkan berdasarkan teori Zohar dan Marshall (2001) dan Sinetar (2001) ciri-ciri orang yang memiliki kecerdasan spiritual adalah sebagai berikut :
1. Mempunyai kesadaran diri. Adanya tingkat kesadaran yang tinggi dan mendalam sehingga bisa menyadari antuasi yang datang dan menanggapinya.
2. Mempunyai visi. Ada pemahaman tentang tujuan hidupnya, mempunyai kualitas hidup yang diilhami oleh visi dan nilai-nilai.
3. Fleksibel. Mampu bersikap fleksibel, menyesuaikan diri secara spontan dan aktif untuk mencapai hasil yang baik, mempunyai pandangan yang pragmatis (sesuai kegunaan) dan efisien tentang realitas.
4. Berpandangan holistik. Melihat bahwa diri sendiri dan orang lain saling terkait dan bisa melihat keterkaitan antara berbagai hal. Dapat memandang kehidupan yang lebih besar sehingga mampu menghadapi dan memanfaatkan serta melampaui, kesengsaraan dan rasa sehat serta memandangnya sebagai suatu visi dan mencari makna dibaliknya.
5. Melakukan perubahan. Terbuka terhadap perbedaan, memiliki kemudahan untuk bekerja melawan konvensi dan status quo, menjadi orang yang bebas merdeka.
6. Sumber inspirasi. Mampu menjadi sumber inspirasi bagi orang lain, mempunyai gagasan-gagasan yang segar dan aneh.
7. Refleksi diri, mempunyai kecenderungan apakah yang mendasar dan pokok.

Aspek-aspek dalam kecerdasan spiritual

Sinetar (2001) menuliskan beberapa aspek dalam kecerdasan spiritual, yaitu :
1. Kemampuan seni untuk memilih, kemampuan untuk memilih dan menata hingga ke bagian-bagian terkecil ekspresi hidupnya berdasarkan suatu visi batin yang tetap dan kuat yang memungkinkan hidup mengorganisasikan bakat.
2. Kemampuan seni untuk melindungi diri. Individu mempelajari keadaan dirinya, baik bakat maupun keterbatasannya untuk menciptakan dan menata pilihan terbaiknya.
3. Kedewasaaan yang diperlihatkan. Kedewasaan berarti kita tidak menyembunyikan kekuatan-kekuatan kita dan ketakutan dan sebagai konsekuensinya memilih untuk menghindari kemampuan terbaik kita.
4. Kemampuan mengikuti cinta. Memilih antara harapan-harapan orang lain di mata kita penting atau kita cintai.
5. Disiplin-disiplin pengorbanan diri. Mau berkorban untuk orang lain, pemaaf tidak prasangka mudah untuk memberi kepada orang lain dan selalu ingin membuat orang lain bahagia.

Cara Meningkatkan Kecerdasan Spiritual yang bisa dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari :
1. Seringlah melakukan perenungan (kontemplasi) mengenai diri sendiri, kaitan hubungan dengan orang lain, serta peristiwa yang dihadapi. Hal ini untuk memahami makna atau nilai dari setiap kejadian dalam kehidupan.
2. Kenali tujuan hidup, tanggung jawab, dan kewajiban dalam hidup kita. Jika segalanya mudah, lancar dan membahagiakan, berarti destiny (tujuan hidup) cocok. Sebaliknya bila banyak rintangan dan kegagalan, berarti tidak cocok.
3. Tumbuhkan kepedulian, kasih sayang, dan kedamaian.
4. Pekakan diri terhadap bisikan, inspirasi dan intuisi. Inilah proses channeling dengan Tuhan. Datangnya sering simbolik, terkadang linier.
5. Ambil hikmah dari segala perubahan di dalam kehidupan (termasuk penderitaan) sebagai jalan untuk peningkatan mutu kehidupan kita.
6. Kembangkan tim kerja dan kemitraan, yang saling asah-asih-asuh.
7. Belajar melayani dan rendah hati.

readmore »»  

20 Oktober 2009

Jangan Takut Tertawa

Ternyata tertawa bisa sebagai kebutuhan hidup. Banyak terapi penyakit dilakukan dengan membiasakan tertawa. Tentunya tertawa yang teratur, artinya kita tertawa karena memang ada yang perlu dan harus ditertawakan. Kalau nggak bisa bahaya he...he...he...
Orang yang takut/malu tertawa dan enggan membuat orang lain tertawa, bisa-bisa ia menderita penyakit GELOTOPHOBIA. Hah...!!! GAWAT!!!
Tertawa juga bisa sebagai cara mengukur kecerdasan seseorang. Semakin cerdas seseorang semakin pandai ia merespon cerita-cerita humor.
Ada empat golongan orang berkaitan dengan selera humor.
• Orang dengan selera humor minim adalah orang yang tak sekalipun tertawa ketika ada rangsangan humor.
• Orang berselera humor sedang sangat bergantung dengan suasana hati. Ia tertawa hanya sebatas "kadang-kadang".
• Orang berselera humor tinggi mampu membuat joke-joke segar dan memberikan respon sangat memuaskan terhadap rangsangan humor. Ia mampu membunuh kegalauan hatinya hanya dengan tertawa dan melucu
• Orang berselera humor kebablasan adalah orang yang kita kenal sebagai orang yang "cengengesan" dan "cengar-cengir" nggak bisa diajak serius.

Tertawa Bisa Sebagai Obat yang Terbaik

Adalah domapin, bahan kimia dalam otak yang bertanggungawab memicu otak untuk memulai tahapan mencerna suatu humor. Dopamin ini memungkinkan kita merasa nyaman saat kita tertawa. Beberapa studi mendemontsrasikan perbaikan kondisi kesehatan pasien yang kronis saat distimulasi dengan hal-hal lucu. Maka pepatah yang mengatakan bahwa tertawa adalah obat terbaik sungguhan terbukti.



readmore »»  

27 Agustus 2009

Mengapa Matematika Jadi Momok

Matematika sebagai momok menakutkan bagi sebagian besar siswa tentu sudah kita amini sejak lama. Sering kita dengar cerita orang tua tentang betapa cemasnya mereka akan nilai matematika anak di sekolah. Belum lagi, begitu stresnya orang tua menjelang UAN ataupun UASBN. Sehingga terpaksa ada anggaran tambahan untuk guru les/privat matematika, demi jaminan nilai aman pada UAN atau UASBN.

Jika kita mau mencermati latar belakang masalahnya, kita tidak berhak menyalahkan begitu saja kecemasan para orang tua siswa. Sebenarnya, ada yang salah dalam pengajaran matematika di sekolah. Baik cara guru memperlakukan matematika, kurikulum sebagai learning screen, ketersediaan buku dan alat peraga, serta tujuan pengajaran matematika.

Kita mulai pada hakikat matematika. Menurut Herman Hudoyo dalam buku Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di depan Kelas: hakikat matematika adalah berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur dan hubungan-hubungannya yang tersusun menurut urutan yang logis. Tepatlah, jika semua komponen pendidikan memandang matematika sebuah sistem yang memuat unsur-unsur saling berkaitan.

Guru Sering Salah Memperlakukan Matematika

Guru sebagai komponen utama pendidikan sering kali salah memperlakukan matematika. Banyak guru yang menganggap matematika hanyalah ilmu berhitung yang memuat angka-angka yang harus segera dipecahkan dengan rumus. Banyak pula guru yang seakan berlomba menciptakan rumus cepat guna menolong siswanya belajar. Belum lagi, kecenderungan guru yang hanya memberi rumus/cara pemecahan soal tanpa penanaman konsep secara matang terlebih dahulu.

Sering kali guru rajin memberikan PR pada siswa, tapi lupa memegang tanggung jawab untuk following up, feedback, maupun rewarding bagi anak didiknya. Ini wajib tidak diremehkan, karena ide-ide, struktur-struktur dan urutan logis sebagai hakikat matematika tercakup di sana. Bayangkan, jika seringkali PR anak menumpuk, sesering pula dengan keengganan guru untuk sekedar membahas, menanyakan kendala pada siswa atau memberikan pujian pada siswa yang telah memahami materi.

Jangan kaget, jika suatu saat kita naik angkot atau bus dikeluh-kesahi oleh orang tua murid akan anaknya yang waktunya habis untuk mengerjakan PR, tapi sampai di sekolah disinggung oleh guru sedikit pun tidak. Ini realita, banyak terjadi di sekolah. Intinya guru hanya mengejar tuntas kewajiban: rumus sudah diberikan, siswa diajak mengerjakan latihan di sekolah, dan siswa pulang membawa PR.

Batasan Maksimal Penjabaran Materi dalam Kurikulum Tidak Ada

Pernahkah anda mendengar keluhan anak anda tentang tugas atau PR dari sekolah. Begitu sulitnya PR itu hingga membuat anak anda menangis karena saking takutnya dengan bayang-bayang sangsi guru dalam pikirannya. Misalnya, anak anda baru kelas 4 SD tetapi mendapat PR tentang sudut terkecil yang dibentuk oleh jarum jam pada pukul empat lebih dua puluh menit. Untuk anak kelas 4 SD pantas ia menangis, karena ini materi di awal SMP. Anak kelas 4 SD harusnya baru mengenal apakah itu sudut lancip, tumpul dan siku-siku.

Satu contoh lagi, anak kelas 7 SMP mendapat PR tentang kesebangunan segitiga. Meski materi itu sengaja dikait-kaitkan dengan materi Perbandingan Segmen Garis, tetapi secara konsep tidak nyantol. Karena segmen garis adalah hanya salah satu unsur segitiga dan materi kesebangunan segitiga baru diterima siswa di kelas IX.
Dari dua contoh di atas, jelas ada yang tidak pas pada kurikulum kita. Batasan maksimal penjabaran materi tidak ada. Sehingga, guru sembarang menghubung-hubungkan materi yang harus sudah dikuasai siswa dengan materi yang seharusnya masih melewati beberapa materi prasyarat lainnya. Imbasnya, materi-materi yang telah diterima siswa tidak menemui tata urutan logis atau lebih gampangnya saling tumpang tindih tidak karuan. Siswa makin sulit membongkar kembali.

Buku sebagai Pendukung Pembelajaran Kurang Memadai

Jika jaman dulu banyak kita temukan siswa yang tidak mempunyai buku karena sedikit buku yang beredar. Tetapi sekarang kenyataan hampir berbalik: buku yang beredar banyak sekali, tetapi yang sampai ke tangan siswa sedikit sekali. Hal ini karena makin mahalnya harga buku akibat semakin mahalnya harga kertas dan biaya cetak.
Pemerintah pun tanggap. Ada beberapa daerah yang mencetak sendiri buku ajar untuk sekolah dari SD sampai SMA. Dengan mencetak sendiri, pemerintah daerah bisa mendistribusikan sendiri buku ajar hingga sekolah-sekolah pelosok sekalipun secara gratis.
Ini harus kita acungi jempol. Tapi bukan berarti masalah tak ada. Mulai dari mutu tinta cetak, kesalahan tata bahasa, pengeditan yang tidak maksimal dan yang fatal adalah ketidak-sesuaian dengan kurikulum masih sering ditemui. Kita harus maklum, itulah kemampuan maksimal pemerintah daerah.
Sedangkan, buku-buku yang beredar di pasar yang dikuasai oleh tiga penerbit raksasa harganya semakin melangit. Dengan beban hidup masyarakat yang makin berat, tentunya daya beli sebagian besar orang tua murid tak sanggup menjangkaunya. Sehingga ketersediaan buku sebagai penunjang pembelajaran matematika perlu kita cermati sebagai masalah.

Tujuan Pengajaran Matematika Masih Menggantung
Pada awal-awal tahun ajaran, pengajaran matematika biasanya lebih santai. Tetapi begitu masuk semester II makin seriuslah guru mengajar (kalau tidak mau dikatakan ngongso). Mulailah dibuat jadwal tambahan di sore hari. Diberilah les privat bagi siswa yang butuh perhatian khusus. Dipanggillah orang tua siswa yang kurang prestasinya. Kepala sekolah pun mulai rajin rapat dengan guru-gurunya. Dan guru-guru pun makin rajin nyereweti muridnya.
Hal ini bisa kita pandang sebagai kemajuan. Tapi di sisi lain kita boleh melihatnya sebagai kemunduran. Kemunduran? Yah, jika kita melihat dari tujuan pengajaran yang diinginkan.
Secara eksplisit, kita baru pada taraf asal siswa naik atau lulus. Kita belum masuk ke taraf bagaimana siswa setelah naik atau lulus. Padahal menurut E.T. Ruseffendi kegunaan pengajaran matematika di sekolah antara lain untuk berkomunikasi, meningkatkan kemampuan berpikir logik, menunjukkan fakta, menjelaskan persoalan, menunjang penggunaan alat-alat hasil tehnologi dan untuk peningkatan kebudayaan. Itulah sebenarnya tujuan pengajaran matematika di sekolah.

Kesimpulan
Dari hal-hal yang telah diuraikan di atas, tak perlu kita cari siapakah yang paling salah. Terpenting, kita harus segera berbuat sesuatu untuk memecahkan problem warisan ini. Para guru harus berubah, berkembang, karena metematika sendiri selalu berkembang setiap detiknya.
Untuk para guru, perlakukan matematika sebagai yang dianjurkan oleh E.T. Ruseffendi: bahwa matematika adalah bahasa. Bagaimana para guru bisa membuat murid menerima penanaman konsep dengan lebih komunikatif dengan bahasa yang mudah dipahami, bukan sekedar deretan rumus yang siswa sendiri tak tahu bagaimana cara mendapatkannya.
Juga yang perlu diperhatikan, hendaknya guru membuat sendiri batasan maksimal penjabaran materi sesuai dengan tata nalar siswa berdasarkan kelasnya, dan memperhatikan pula beberapa materi prasyarat.
Tulisan ini dibuat bukan untuk menggurui, karena semua yang tertulis juga merupakan masalah yang dihadapi penulis. Terakhir, kita harus sadar matematika tak akan pernah mati. Matematika hilang ketika peradapan manusia telah lenyap. Karena Matematika adalah buah peradapan. Teruslah maju para guru. Karena Matematika akan terus berkembang menyertai kita.
readmore »»  

MENJADI GURU YANG KOMUNIKATIF

“Guru komunikatif mampu berkomunikasi secara bermakna dengan siswa”.


Setiap hari di dalam kelas guru harus berhadapan dengan bermacam karakter murid. Bermacam pula latar belakang lingkungannya. Faktor-faktor lingkungan yang biasa menyertai siswa antara lain: kesalahan-kesalahan pedagogis, keadaan kesehatan dan situasi rumah atau sekolah (yang menghasilkan gangguan-gangguan emosional atau gejala-gejala gangguan psikis).
Tugas utama mengajar bukan melulu melakukan sesuatu bagi siswa, tetapi lebih berupa menggerakkan murid melakukan hal-hal sesuai yang dirumuskan dalam tujuan pembelajaran. Bukan pula menerangkan hal-hal yang terdapat dalam buku, tetapi mendorong, memberikan inspirasi, memberikan motivasi-motivasi, dan membimbing siswa untuk mencapai tujuan yang diinginkan.
Yang mutlak diperlukan di sini adalah tersambungnya komunikasi. Tentunya, komunikasi dua arah. Dari guru ke murid dan sebaliknya.
Ada dua macam komunikasi yang kita kedepankan di sini: komunikasi verbal dan non verbal. Penggunaan komunikasi verbal di dalam kelas hendaknya didesain seefisien mungkin, sehingga pembelajaran tidak menggusur format siswa sebagai subyek dan sentra aktivitas belajar.
Rangkaian pembelajaran harus mengarahkan siswa kepada tercapainya tujuan pembelajaran itu sendiri. Kata-kata bernuansa dorongan dan penyemangat lebih dibutuhkan siswa daripada ceramah-ceramah pengulangan materi. Kita harus membuang jauh-jauh model pembelajaran yang mengebiri aktivitas murid di dalam kelas, contohnya pembelajaran yang mutlak bertumpu pada aktivitas guru dan mengesampingkan kebutuhan murid secara naluriah.
Sebelum mengajar guru hendaknya merancang suatu pola komunikasi tertentu untuk mengatasi permasalahan anak didik di kelas. Kita sadari, bahwa ada beberapa anak yang tidak cukup hanya dengan komunikasi verbal, tetapi masih perlu dengan pendekatan-pendekatan individual secara intensif.
Banyak pula siswa yang lebih membutuhkan model komunikasi non verbal. Misalnya dengan body language, curahan perhatian, tulisan-tulisan suportif di buku tulisnya, misal: hebat, pintar, dan sebagainya. Semua bergantung pada karakter dan lingkungan sosial yang menyertai murid.
Hal lain yang perlu diperhatikan oleh guru adalah komunikasi dengan orang tua atau keluarga siswa. Di mana guru bertugas memberikan pelayanan kepada orang tua siswa. Beberapa kendala yang bisa muncul antara lain: sikap orang tua terhadap pendidikan bermacam-macam; kesibukan orang tua; tingkat pendidikan orang tua bervariasi sehingga model komunikasinya pun berbeda-beda; kebijakan personalia administrasi sekolah. Untuk itu para guru hendaknya mulai mengimbanginya dengan mencoba berberapa tehnologi komunikasi untuk membuka akses dengan orang tua.
Penggunaan tehnologi komunikasi secara efektif mampu membantu kinerja guru terutama dalam pelayanan terhadap orang tua. Lewat E-mail orang tua dapat berkomunikasi dua arah dengan guru tanpa harus bersusah payah bertatap muka di sekolah. Dengan membuat blog para guru memberi kesempatan kepada banyak orang untuk membaca dan memahami buah pikiran guru demi kemajuan pendidikan Indonesia. Berarti fungsi sebagai Public Relation bisa juga dijalankan oleh guru.
Kesimpulannya, guru yang komunikatif adalah guru yang mampu menggunakan alat-alat komunikasi baik verbal maupun non verbal dalam rangka membina hubungan dengan siswa dan masyarakat untuk mencapai tujuan pendidikan.

readmore »»  

FORMULA BARU UNTUK PROBLEM KLASIK

“Krisis global yang menerpa negara-negara maju seolah sebagai pembenaran bahwa tehnologi saja tidak cukup mengatasi persoalan hidup. Kita perlu bentuk pendidikan yang memperhatikan aspek mental, moral, dan spiritual. Secara garis besar konsep tujuan pendidikan nasional sudah mampu mendefinisikan bentuk pendidikan tersebut. Tetapi pada tingkat implementasi yang terjadi justru sebaliknya.”

Tahun 2008 telah kita tinggalkan menyisakan permasalahan bagi pemerintah: sampai sejauh mana pendidikan memenuhi kebutuhan masyarakat. Krisis global yang menerpa negara-negara maju seolah sebagai pembenaran bahwa tehnologi saja tidak cukup mengatasi persoalan hidup. Tetapi kita perlu bentuk pendidikan yang multidimensi. Meliputi pendidikan mental, moral, dan spiritual.

Pendidikan mental lebih berguna untuk membekali masyarakat dalam menghadapi persoalan hidup yang makin berat. Ketersediaan BBM dan gas yang tak menentu, serta biaya sekolah yang makin menggila disadari atau tidak sangat membebani pikiran masyarakat.

Pengaruh budaya barat di tengah-tengah kehidupan masyarakat ikut andil menambah permasalahan hidup. Pergaulan bebas, narkotika, teknologi dunia maya (internet) adalah contoh kecil akar masalah moral masyarakat. Banyak tindakan kejahatan yang diilhami oleh gambar film impor dan berita dari internet. Lihatlah pesta pergantian tahun yang dihadiri pula oleh pejabat, bukankah itu budaya impor yang kita biarkan hadir di tengah-tengah himpitan ekonomi masyarakat. Daripada uang bermilyar-milyar itu kita bakar jadi kembang api lebih baik digunakan untuk kemaslahatan masyarakat. Untuk itu perlu pendidikan moral guna menyadarkan masyarakat.

Hidup semakin berat dan problematika hidup juga semakin beragam, apakah kita harus menyerah? Apakah kita hanya berpangku tangan menunggu perubahan jaman sambil menghitung hutang? Tentu tidak. Kita harus mampu merubah nasib kita dengan kegigihan kita sendiri. Dengan pendidikan spiritual masyarakat harus mampu mengatasi kesulitan hidupnya sebagai cara untuk menyalurkan semua potensinya.

Pemerintah sebagai sandaran masyarakat tentunya sudah mempunyai strategi sendiri untuk meningkatkan standar hidup masyarakat. Tetapi, pemerintah perlu juga membuat kalkulasi berapa persen kualitas pendidikan nasional berperan dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Pemerintah perlu meramu sebuah kurikulum yang mampu menjamin itu semua. Yaitu sebuah bentuk kurikulum yang mengakomodasi pendidikan mental, moral dan spiritual.

Secara garis besar konsep tujuan pendidikan nasional sudah mampu mendefinisikan bentuk pendidikan mental, moral dan spiritual. Yaitu membentuk masyarakat yang beriman, bertaqwa, berkualitas dan mandiri. Tetapi pada tingkat implementasi yang terjadi justru sebaliknya.

Ujian Nasional (UNAS) merupakan salah satu bentuk pengingkaran dari tujuan pendidikan nasional untuk membentuk masyarakat yang berkualitas dan mandiri. Kualitas dan kemandirian masyarakat tidak selalu bisa diukur dari nilai UNAS. Tetapi lebih pada kebermaknaan masyarakat itu di tengah-tengah lingkungan sosialnya.

Kita perlu juga menengok RUU BHP yang meresahkan masyarakat. Banyak pihak meyakini (terutama mahasiswa) bahwa RUU BHP mengingkari kedudukan lembaga sekolah atau perguruan tinggi sebagai lembaga sosial. Lembaga yang seharusnya memarginalkan hitungan untung dan rugi. RUU BHP seolah-olah menutup pintu bagi masyarakat miskin untuk memperoleh pendidikan tinggi yang merupakan haknya. Jika ini yang memang diinginkan, maka pemerintah gagal memberikan layanan pendidikan spiritual bagi masyarakat.

Sepantasnya pemerintah memikirkan paradigma baru untuk mengatasi persoalan hidup masyarakat. Pengentasan kemiskinan dengan cara-cara instan seperti pemberian BLT saatnya berganti dengan pendekatan yang lebih ke jantung permasalahan. Bahwa, masyarakat butuh model pendidikan yang mempersiapkan mereka secara mental, moral dan spiritual guna mengarungi hidup yang makin menantang ini. Masyarakat butuh formula baru untuk mengatasi problematika hidupnya yang sangat klasik, yaitu kemiskinan.
readmore »»