SELAMAT DATANG DI DUNIA MATEMATIKA

27 Agustus 2009

Mengapa Matematika Jadi Momok

Matematika sebagai momok menakutkan bagi sebagian besar siswa tentu sudah kita amini sejak lama. Sering kita dengar cerita orang tua tentang betapa cemasnya mereka akan nilai matematika anak di sekolah. Belum lagi, begitu stresnya orang tua menjelang UAN ataupun UASBN. Sehingga terpaksa ada anggaran tambahan untuk guru les/privat matematika, demi jaminan nilai aman pada UAN atau UASBN.

Jika kita mau mencermati latar belakang masalahnya, kita tidak berhak menyalahkan begitu saja kecemasan para orang tua siswa. Sebenarnya, ada yang salah dalam pengajaran matematika di sekolah. Baik cara guru memperlakukan matematika, kurikulum sebagai learning screen, ketersediaan buku dan alat peraga, serta tujuan pengajaran matematika.

Kita mulai pada hakikat matematika. Menurut Herman Hudoyo dalam buku Pengembangan Kurikulum Matematika dan Pelaksanaannya di depan Kelas: hakikat matematika adalah berkenaan dengan ide-ide, struktur-struktur dan hubungan-hubungannya yang tersusun menurut urutan yang logis. Tepatlah, jika semua komponen pendidikan memandang matematika sebuah sistem yang memuat unsur-unsur saling berkaitan.

Guru Sering Salah Memperlakukan Matematika

Guru sebagai komponen utama pendidikan sering kali salah memperlakukan matematika. Banyak guru yang menganggap matematika hanyalah ilmu berhitung yang memuat angka-angka yang harus segera dipecahkan dengan rumus. Banyak pula guru yang seakan berlomba menciptakan rumus cepat guna menolong siswanya belajar. Belum lagi, kecenderungan guru yang hanya memberi rumus/cara pemecahan soal tanpa penanaman konsep secara matang terlebih dahulu.

Sering kali guru rajin memberikan PR pada siswa, tapi lupa memegang tanggung jawab untuk following up, feedback, maupun rewarding bagi anak didiknya. Ini wajib tidak diremehkan, karena ide-ide, struktur-struktur dan urutan logis sebagai hakikat matematika tercakup di sana. Bayangkan, jika seringkali PR anak menumpuk, sesering pula dengan keengganan guru untuk sekedar membahas, menanyakan kendala pada siswa atau memberikan pujian pada siswa yang telah memahami materi.

Jangan kaget, jika suatu saat kita naik angkot atau bus dikeluh-kesahi oleh orang tua murid akan anaknya yang waktunya habis untuk mengerjakan PR, tapi sampai di sekolah disinggung oleh guru sedikit pun tidak. Ini realita, banyak terjadi di sekolah. Intinya guru hanya mengejar tuntas kewajiban: rumus sudah diberikan, siswa diajak mengerjakan latihan di sekolah, dan siswa pulang membawa PR.

Batasan Maksimal Penjabaran Materi dalam Kurikulum Tidak Ada

Pernahkah anda mendengar keluhan anak anda tentang tugas atau PR dari sekolah. Begitu sulitnya PR itu hingga membuat anak anda menangis karena saking takutnya dengan bayang-bayang sangsi guru dalam pikirannya. Misalnya, anak anda baru kelas 4 SD tetapi mendapat PR tentang sudut terkecil yang dibentuk oleh jarum jam pada pukul empat lebih dua puluh menit. Untuk anak kelas 4 SD pantas ia menangis, karena ini materi di awal SMP. Anak kelas 4 SD harusnya baru mengenal apakah itu sudut lancip, tumpul dan siku-siku.

Satu contoh lagi, anak kelas 7 SMP mendapat PR tentang kesebangunan segitiga. Meski materi itu sengaja dikait-kaitkan dengan materi Perbandingan Segmen Garis, tetapi secara konsep tidak nyantol. Karena segmen garis adalah hanya salah satu unsur segitiga dan materi kesebangunan segitiga baru diterima siswa di kelas IX.
Dari dua contoh di atas, jelas ada yang tidak pas pada kurikulum kita. Batasan maksimal penjabaran materi tidak ada. Sehingga, guru sembarang menghubung-hubungkan materi yang harus sudah dikuasai siswa dengan materi yang seharusnya masih melewati beberapa materi prasyarat lainnya. Imbasnya, materi-materi yang telah diterima siswa tidak menemui tata urutan logis atau lebih gampangnya saling tumpang tindih tidak karuan. Siswa makin sulit membongkar kembali.

Buku sebagai Pendukung Pembelajaran Kurang Memadai

Jika jaman dulu banyak kita temukan siswa yang tidak mempunyai buku karena sedikit buku yang beredar. Tetapi sekarang kenyataan hampir berbalik: buku yang beredar banyak sekali, tetapi yang sampai ke tangan siswa sedikit sekali. Hal ini karena makin mahalnya harga buku akibat semakin mahalnya harga kertas dan biaya cetak.
Pemerintah pun tanggap. Ada beberapa daerah yang mencetak sendiri buku ajar untuk sekolah dari SD sampai SMA. Dengan mencetak sendiri, pemerintah daerah bisa mendistribusikan sendiri buku ajar hingga sekolah-sekolah pelosok sekalipun secara gratis.
Ini harus kita acungi jempol. Tapi bukan berarti masalah tak ada. Mulai dari mutu tinta cetak, kesalahan tata bahasa, pengeditan yang tidak maksimal dan yang fatal adalah ketidak-sesuaian dengan kurikulum masih sering ditemui. Kita harus maklum, itulah kemampuan maksimal pemerintah daerah.
Sedangkan, buku-buku yang beredar di pasar yang dikuasai oleh tiga penerbit raksasa harganya semakin melangit. Dengan beban hidup masyarakat yang makin berat, tentunya daya beli sebagian besar orang tua murid tak sanggup menjangkaunya. Sehingga ketersediaan buku sebagai penunjang pembelajaran matematika perlu kita cermati sebagai masalah.

Tujuan Pengajaran Matematika Masih Menggantung
Pada awal-awal tahun ajaran, pengajaran matematika biasanya lebih santai. Tetapi begitu masuk semester II makin seriuslah guru mengajar (kalau tidak mau dikatakan ngongso). Mulailah dibuat jadwal tambahan di sore hari. Diberilah les privat bagi siswa yang butuh perhatian khusus. Dipanggillah orang tua siswa yang kurang prestasinya. Kepala sekolah pun mulai rajin rapat dengan guru-gurunya. Dan guru-guru pun makin rajin nyereweti muridnya.
Hal ini bisa kita pandang sebagai kemajuan. Tapi di sisi lain kita boleh melihatnya sebagai kemunduran. Kemunduran? Yah, jika kita melihat dari tujuan pengajaran yang diinginkan.
Secara eksplisit, kita baru pada taraf asal siswa naik atau lulus. Kita belum masuk ke taraf bagaimana siswa setelah naik atau lulus. Padahal menurut E.T. Ruseffendi kegunaan pengajaran matematika di sekolah antara lain untuk berkomunikasi, meningkatkan kemampuan berpikir logik, menunjukkan fakta, menjelaskan persoalan, menunjang penggunaan alat-alat hasil tehnologi dan untuk peningkatan kebudayaan. Itulah sebenarnya tujuan pengajaran matematika di sekolah.

Kesimpulan
Dari hal-hal yang telah diuraikan di atas, tak perlu kita cari siapakah yang paling salah. Terpenting, kita harus segera berbuat sesuatu untuk memecahkan problem warisan ini. Para guru harus berubah, berkembang, karena metematika sendiri selalu berkembang setiap detiknya.
Untuk para guru, perlakukan matematika sebagai yang dianjurkan oleh E.T. Ruseffendi: bahwa matematika adalah bahasa. Bagaimana para guru bisa membuat murid menerima penanaman konsep dengan lebih komunikatif dengan bahasa yang mudah dipahami, bukan sekedar deretan rumus yang siswa sendiri tak tahu bagaimana cara mendapatkannya.
Juga yang perlu diperhatikan, hendaknya guru membuat sendiri batasan maksimal penjabaran materi sesuai dengan tata nalar siswa berdasarkan kelasnya, dan memperhatikan pula beberapa materi prasyarat.
Tulisan ini dibuat bukan untuk menggurui, karena semua yang tertulis juga merupakan masalah yang dihadapi penulis. Terakhir, kita harus sadar matematika tak akan pernah mati. Matematika hilang ketika peradapan manusia telah lenyap. Karena Matematika adalah buah peradapan. Teruslah maju para guru. Karena Matematika akan terus berkembang menyertai kita.