SELAMAT DATANG DI DUNIA MATEMATIKA

17 Februari 2010

Tak Ada Murid yang Sama

Selama lima belas tahun menjadi guru, baru sekali penulis mengajar tiga pasang anak kembar sekaligus dalam waktu setahun. Setiap pasangnya adalah sekelas, sehingga mudah dibandingkan secara langsung. Dua pasang di antaranya sangat mirip secara fisik. Sepasang lagi berlainan jenis kelamin.
Pasangan pertama, kita sebut saja A dan B, berlainan sifat satu sama lain. A termasuk murid perempuan yang centil, selalu ceria, dan secara umum sedikit lebih pintar dibanding kembarannya. Tetapi, dari sisi emosinya, si A lebih mudah meledak-ledak. Sedangkan B cenderung tenang, murah senyum, lebih sabar, dan menonjol pada bidang studi matematika.
Pada pasangan kedua (kita sebut saja C dan D), C adalah siswi pendiam, tenang, dan kelihatan ngemong terhadap kembarannya. D lebih kelihatan sebagai siswi yang lebih pandai mendapatkan teman, menyukai kebersamaan, tetapi sensitif. Dari segi kognitif pun mereka berbeda.
Dari dua contoh di atas kita menyadari, bahwa Tuhan meciptakan manusia dengan ciri-ciri khususnya. Tak akan pernah ada dua makhluk yang tercipta mutlak sama. Pasti masing-masing memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Pada anak kembar sekali pun.
Sebagai guru seyogyanya menyadari bahwa murid-murid kita adalah pribadi yang unik. Memiliki kekhususan sendiri-sendiri. Tidak mau disamakan dengan yang lain. Sehingga perlakuan dan individual approach-nya pun harus berbeda-beda.
Ada tiga faktor penentu keunikan pribadi siswa, yaitu: keturunan (heredity); lingkungan (environment), dan diri (self). Keturunan menjadi penentu pada pembentukan sifat dan potensi yang relatif sukar berubah dengan pengalaman pembelajaran. Faktor keturunan ini berperan bagi pertumbuhan fisik, mental maupun sifat kepribadian yang diinginkan. Lingkungan meliputi keadaan sosial sekitar, kebiasaan-kebiasaan, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi berperan membentuk pribadi anak dari luar. Termasuk juga bahasa yang berfungsi untuk menyerap kebudayaan masyarakat di mana anak tinggal. Sedangkan, faktor diri yaitu kehidupan kejiwaan anak, di dalamnya meliputi: perasaan, usaha, pikiran, pandangan, minat, penilaian, harapan, keyakinan yang berpengaruh pada tujuan atas tindakan yang dilakukan.

Implementasi di Sekolah
Sekolah bisa menyelenggarakan aktivitas belajar karena ada kurikulum yang sudah dibakukan, tetapi masih banyak pihak yang salah mengurai dan menjabarkan (misinterpreted) fungsi kurikulum. Kurikulum selalu hanya dipandang sebagai alat untuk pengembangan kemampuan intelektual anak (proses kognitif): kemampuan berpikir untuk menyelesaikan masalah. Alhasil, dalam praktek guru hanya melihat produk atau hasil dari proses belajar mengajar. Seringkali siswa yang bermasalah dalam belajar tidak tertangani dengan semestinya. Biasanya, cap anak bodoh, anak lemot, anak malas mudah disematkan pada anak-anak yang mengalami masalah prestasi belajar.
Di sekolah (termasuk juga SLB) bisa kita temukan berbagai macam karakter, potensi, emosi, minat, bakat, perasaan, perhatian dan sebagainya yang terdapat pada peserta didik. Sayangnya, itu semua tidak terakomodasi di dalam kurikulum kita. Karena kurikulum masih dianggap sebagai timbangan beras, sedangkan indikator dan kompetensi dasar dianggap sebagai anak timbangan (bandul). Sehingga semua yang dicapai oleh anak harus sesuai dengan standar yang ditentukan.
Belum lagi, banyak potensi dan usaha anak yang tidak terasah oleh kurikulum di sekolah. Karena sekolah masih menganggap anak didik sebagai kumpulan obyek yang harus mendapatkan perlakuan sama. Kapan anak bisa mengaktualisasikan dirinya?

Kurikulum Humanistik
Kita harus menyadari bahwa fungsi humanistis dari kurikulum: untuk mengaktualisasikan diri. Kurikulum yang mengutamakan perkembangan anak sebagai individu yang unik dalam segala aspek kepribadian. Dengan model kurikulum humanistik ini tugas pendidikan yang utama adalah mengembangkan anak sebagai individu yang unik sekaligus sebagai makhluk sosial.
Dengan kurikulum yang humanistik tugas sekolah selain meberikan materi ajar, adalah memberi kebebasan, kemandirian, hak untuk mengembangkan diri, serta mengembangkan fisik dan emosionalnya. Model pembelajaran yang benar-benar child-centered yang mengutamakan ekspresi diri secara kreatif, individualitas, aktivitas pertumbuhan dari dalam diri siswa sendiri, bebas oleh paksaan dari luar.
Semoga pemerintah cepat memahami bahwa tidak akan pernah ada siswa yang sama. Sehingga kurikulum betul-betul memberikan wadah kepada siswa untuk berkembang sesuai dengan potensi, minat, keyakinan dan usaha siswa secara individualitas. Amin.