SELAMAT DATANG DI DUNIA MATEMATIKA

15 Juni 2010

Sekolah Swasta Bisa Jadi Pilihan

Menjelang peringatan 65 tahun Indonesia merdeka, sebaiknya kita merenung sampai sejauh mana perjalanan pendidikan bangsa ini. Semboyan Ing Ngarsa Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa dan Tut Wuri Handayani masihkah pantas kita dengung-dengungkan, sedangkan permasalahan pendidikan nasional datang silih berganti tanpa kita tahu kapan berakhir.Kurikulum baru yang selalu muncul dengan beberapa kontroversi, sertfikasi guru yang semrawut dengan banyak implikasinya, ujian nasional dengan segala keruwetannya, BOS, Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru, Penerimaan Peserta Didik (PPD) sudah cukup untuk menunjukkan bahwa permasalahan pendidikan nasional ibarat anak gunung yang dari waktu ke waktu semakin besar dan seakan tak terselesaikan.
Seminggu terakhir keprihatinan kita terpancing ketika membaca keluh kesah orang tua di beberapa surat kabar mengenai proses seleksi murid baru jalur khusus di beberapa sekolah negeri. Inikah wajah dunia pendidikan Indonesia? Ketika kewajiban menuntut ilmu terganjal oleh suatu proses yang justru dikendalikan oleh lembaga penyelenggara pendidikan yaitu sekolah.

Bergeser
Sekolah adalah lembaga yang dipercaya masyarakat untuk menyelenggarakan pendidikan nasional. Keberadaan sekolah bertujuan mewadahi keinginan masyarakat untuk mencapai tujuan pendidikan nasional. Sudah sepantasnya perkembangan sekolah selalu melibatkan peran serta masyarakat.
Peranan sekolah dituntut tanggap dan fungsional terhadap kelangsungan dan perkembangan masyarakat sekitarnya. Sekolah menanggung kewajiban fungsional terhadap masyarakat, yaitu dengan penyiapan dan pembinaan masyarakat sehingga memiliki kemampuan dan pribadi yang diharapkan.
Sekolah adalah lembaga sosial, bukan sebuah institusi yang diharapkan memenuhi hukum dagang: untung dan rugi. Sekolah berkembang dari dan untuk masyarakat.
Tapi mencermati proses penerimaan peserta didik jalur khusus di beberapa sekolah negeri, penulis menyimpulkan bahwa fungsi sekolah telah bergeser. Sekolah bukan lagi sekedar lembaga sosial. Dan ada sebuah ironi: sekolah negeri yang didirikan pemerintah sebagai motor penggerak kemajuan pendidikan ternyata limbung untuk memenuhi kelangsungan hidupnya sendiri, sehingga membebankannya di pundak orang tua. Sampai-sampai ada kepala sekolah negeri ketika ditanya tentang tingginya biaya masuk sekolah beralasan bahwa sekolahnya belum punya laboratorium komputer dan untuk memperluas ruang kelas.
Bagaimana pemerintah bisa ngomong anggaran pendidikan sudah memadai. Apa pula maksudnya slogan sekolah gratis dari para calon kepala daerah ketika kampanye menjelang pilkada.
Jalur khusus PPD sebenarnya diperuntukkan bagi calon siswa sekitar sekolah yang kurang mampu; siswa yang berkontribusi besar dalam peningkatan mutu pendidikan; dan siswa berprestasi akademik, olah raga, kesenian, dan keterampilan baik pribadi maupun kelompok. Dan jalur ini tetap memperhatikan nilai UAN calon siswa.
Tapi pada prakteknya nilai nominal sumbangan orang tualah sebagai faktor penentu diterima atau tidaknya calon siswa lewat jalur khusus ini. Bisa disimpulkan bahwa tujuan program jalur khusus ini pun telah bergeser.

Sekolah Swasta
Sekolah swasta lahir karena keinginan dan aspirasi sebagian masyarakat tidak mampu terakomodasi oleh sekolah negeri. Hal ini merupakan refleksi dari dua segi hubungan sekolah dan masyarakat, yaitu: i)masyarakat adalah partner sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan nasional; ii)sekolah adalah produser yang mewadahi keinginan-keinginan yang muncul di masyarakat.
Karena didirikan oleh perorangan atau sekelompok masyarakat (bukan pemerintah) sudah barang tentu sekolah swasta berusaha menjaga eksistensinya dengan memberikan sentuhan dan warna untuk menarik animo dari calon peserta didik tanpa menunggu-nunggu uluran bantuan dari pemerintah. Mulai dari tampilan luar sekolah (gedung dan fasilitas) hingga tenaga guru, pelayanan kepada siswa, dan kurikulum plus.
Dalam memenuhi keberlangsungan hidupnya sekolah swasta mengandalkan dari sumbangan orang tua lewat SPP. Itu pun tidak mutlak, karena ada beberapa sekolah yang didukung oleh sebuah lembaga swadaya yang bergerak dan menempatkan dirinya sebagai penyedia dana sehingga sekolah bagi beberapa siswa benar-benar gratis, bebas uang SPP.
Tapi, sudah cukup banyak sekolah swasta yang gulung tikar karena tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan hidup di tengah-tengah persaingan dengan sekolah negeri/swasta lainnya. Bagaimana dapat meraih animo calon siswa jika hanya untuk promosi saja tidak mampu. Belum lagi biaya operasional yang dari waktu ke waktu terus membumbung.
Selayaknya pemerintah menyadari bahwa keberadaan sekolah swasta memang diperlukan sebagai kompetitor, penyeimbang, sekaligus kontrol bagi proses pendidikan di sekolah negeri. Sudah waktunya pemerintah memperhatikan kelangsungan sekolah-sekolah swasta dengan memberikan BOS (Bantuan Operional Sekolah) secara periodik dengan implementasi yang lebih fleksibel.
Pendirian sekolah baru (baik negeri atau swasta) lebih diatur guna menjaga kelangsungan hidup sekolah yang telah ada sebelumnya. Untuk apa sekolah baru terus bermunculan jika tidak bisa berperan secara fungsional. Karena disadari atau tidak bergesernya fungsi sekolah sebagai lembaga sosial bisa mengancam pendidikan nasional hingga akhirnya mempengaruhi sendi-sendi bangsa dan negara.
readmore »»  

17 Februari 2010

Tak Ada Murid yang Sama

Selama lima belas tahun menjadi guru, baru sekali penulis mengajar tiga pasang anak kembar sekaligus dalam waktu setahun. Setiap pasangnya adalah sekelas, sehingga mudah dibandingkan secara langsung. Dua pasang di antaranya sangat mirip secara fisik. Sepasang lagi berlainan jenis kelamin.
Pasangan pertama, kita sebut saja A dan B, berlainan sifat satu sama lain. A termasuk murid perempuan yang centil, selalu ceria, dan secara umum sedikit lebih pintar dibanding kembarannya. Tetapi, dari sisi emosinya, si A lebih mudah meledak-ledak. Sedangkan B cenderung tenang, murah senyum, lebih sabar, dan menonjol pada bidang studi matematika.
Pada pasangan kedua (kita sebut saja C dan D), C adalah siswi pendiam, tenang, dan kelihatan ngemong terhadap kembarannya. D lebih kelihatan sebagai siswi yang lebih pandai mendapatkan teman, menyukai kebersamaan, tetapi sensitif. Dari segi kognitif pun mereka berbeda.
Dari dua contoh di atas kita menyadari, bahwa Tuhan meciptakan manusia dengan ciri-ciri khususnya. Tak akan pernah ada dua makhluk yang tercipta mutlak sama. Pasti masing-masing memiliki kekhasan sendiri-sendiri. Pada anak kembar sekali pun.
Sebagai guru seyogyanya menyadari bahwa murid-murid kita adalah pribadi yang unik. Memiliki kekhususan sendiri-sendiri. Tidak mau disamakan dengan yang lain. Sehingga perlakuan dan individual approach-nya pun harus berbeda-beda.
Ada tiga faktor penentu keunikan pribadi siswa, yaitu: keturunan (heredity); lingkungan (environment), dan diri (self). Keturunan menjadi penentu pada pembentukan sifat dan potensi yang relatif sukar berubah dengan pengalaman pembelajaran. Faktor keturunan ini berperan bagi pertumbuhan fisik, mental maupun sifat kepribadian yang diinginkan. Lingkungan meliputi keadaan sosial sekitar, kebiasaan-kebiasaan, tingkat pendidikan, tingkat ekonomi berperan membentuk pribadi anak dari luar. Termasuk juga bahasa yang berfungsi untuk menyerap kebudayaan masyarakat di mana anak tinggal. Sedangkan, faktor diri yaitu kehidupan kejiwaan anak, di dalamnya meliputi: perasaan, usaha, pikiran, pandangan, minat, penilaian, harapan, keyakinan yang berpengaruh pada tujuan atas tindakan yang dilakukan.

Implementasi di Sekolah
Sekolah bisa menyelenggarakan aktivitas belajar karena ada kurikulum yang sudah dibakukan, tetapi masih banyak pihak yang salah mengurai dan menjabarkan (misinterpreted) fungsi kurikulum. Kurikulum selalu hanya dipandang sebagai alat untuk pengembangan kemampuan intelektual anak (proses kognitif): kemampuan berpikir untuk menyelesaikan masalah. Alhasil, dalam praktek guru hanya melihat produk atau hasil dari proses belajar mengajar. Seringkali siswa yang bermasalah dalam belajar tidak tertangani dengan semestinya. Biasanya, cap anak bodoh, anak lemot, anak malas mudah disematkan pada anak-anak yang mengalami masalah prestasi belajar.
Di sekolah (termasuk juga SLB) bisa kita temukan berbagai macam karakter, potensi, emosi, minat, bakat, perasaan, perhatian dan sebagainya yang terdapat pada peserta didik. Sayangnya, itu semua tidak terakomodasi di dalam kurikulum kita. Karena kurikulum masih dianggap sebagai timbangan beras, sedangkan indikator dan kompetensi dasar dianggap sebagai anak timbangan (bandul). Sehingga semua yang dicapai oleh anak harus sesuai dengan standar yang ditentukan.
Belum lagi, banyak potensi dan usaha anak yang tidak terasah oleh kurikulum di sekolah. Karena sekolah masih menganggap anak didik sebagai kumpulan obyek yang harus mendapatkan perlakuan sama. Kapan anak bisa mengaktualisasikan dirinya?

Kurikulum Humanistik
Kita harus menyadari bahwa fungsi humanistis dari kurikulum: untuk mengaktualisasikan diri. Kurikulum yang mengutamakan perkembangan anak sebagai individu yang unik dalam segala aspek kepribadian. Dengan model kurikulum humanistik ini tugas pendidikan yang utama adalah mengembangkan anak sebagai individu yang unik sekaligus sebagai makhluk sosial.
Dengan kurikulum yang humanistik tugas sekolah selain meberikan materi ajar, adalah memberi kebebasan, kemandirian, hak untuk mengembangkan diri, serta mengembangkan fisik dan emosionalnya. Model pembelajaran yang benar-benar child-centered yang mengutamakan ekspresi diri secara kreatif, individualitas, aktivitas pertumbuhan dari dalam diri siswa sendiri, bebas oleh paksaan dari luar.
Semoga pemerintah cepat memahami bahwa tidak akan pernah ada siswa yang sama. Sehingga kurikulum betul-betul memberikan wadah kepada siswa untuk berkembang sesuai dengan potensi, minat, keyakinan dan usaha siswa secara individualitas. Amin.

readmore »»